Tujuh bulan pasca operasi, tepatnya sekitar Bulan September 2016 aku cek ke dokter (dokter terdekat dengan rumah) masih bersih tanpa si kista. Seharusnya emang aku dateng ke RS Hermina Sukabumi tempat aku operasi sebelumnya untuk terapi hormon, dengan maksud buat membunuh si endometriosis supaya ga tumbuh lagi. Akibat bandel nggak dengan segera jalanin terapi hormon itu, di Bulan Desember 2016 aku periksa lagi ternyata si endometriosis tanpa permisi udah dateng lagi aja, karena snewen dan gak percaya akhirnya coba periksa ke dokter lainnya. Hasilnya sama. Dokter ini nyaranin ke aku untuk kembali ke dokter sebelumnya yang melakukan operasinya.
Jujur, bolak balik RS itu lumayan melelahkan dan membosankan. Ya gara-gara kebanyakan males, akhirnya baru ke RS Hermina di Bulan Juli 2017. Kenapa nunda lama banget? Ya karena rasanya belum siap dengan segala rutinitas kembali ke RS kayak dulu. Balik ke RS Hermina pun halangannya adaa ajaa *banyak alasan* hahaha..
Dateng ke RS, aku ditangani dokter yang baru karena dokter sebelumnya full pasien dan rasanya nggak enak kalau hari besoknya harus izin lagi masuk kerja karena hari itu batal diperiksa dan pulang gitu aja. Akhirnya aku milih diperiksa dokter lain aja, supaya nggak bolak balik RS. Tibalah waktunya diperiksa, deg2an tegang macam mau interview kerja pertama kali. Hari itu aku dateng ke RS bareng dianter si calon, walaupun tiap masuk ruangan periksa orang-orang ngeliatin entah maksudnya apa. Ya mungkin dipanggil Nona tapi dateng bareng Laki, sampe si perawatnya aja nanya, masih Nona ya disininya bu? Ya saya emang masih Nona, belum jadi Nyonya *kode terselubung buat sang calon*.
And the result is still same, si endometriosisnya memang ada dan dokternya ngomel, yaaa karena aku bandel nggak terapi hormon. Pesan si dokter : Jangan bandel lagi ya kamu! Hahaha.. Ya dokter, i'll try *sambil nyengir kuda*. Solusi dari dokter udah bisa aku prediksi, pasti disuruh operasi lagi. Disamping itu dokter emang ngasih alternatif lain, mau operasi laparotomi (dengan luka bedah seperti caesar), obat hormon dengan periode per 3 bulan, atau yang paling canggih di masa kini, bedah teropong atau laparoskopi (dirujuk ke RS lain).
Nah, yang tidak disangka-sangka, ada solusi pasca operasi setelah terapi hormon yang bikin bingung juga. Aku harus program hamil. Itu solusi terbaiknya, ya hamil. Dengan nggak menstruasi selama hampir setahun itu akan menyelamatkan aku dan memisahkan aku dari si endometriosis tak diundang itu. Ya, that's good idea, tapi bikin kening aku agak berkerut karena dengan kata lain kita harus nikah dalam jangka waktu dekat dan buru-buru, sedangkan sang calon dalam persiapan mau keluar negeri dalam jangka waktu yang nggak sebentar.
Selama mikirin mau ambil keputusan apa, dokter kasih aku vissane 2 mg. Kayak gini nih penampakannya.
Obat hormon ini isinya 2 strip yang masing-masing isinya 14 tablet, diminum sehari sekali di jam yang sama dan disarankan supaya nggak terlewat. Dokter sih memprediksikan obat ini akan bikin mens lebih sedikit atau malah nggak mens sama sekali. Tapi di badan aku justru malah sebaliknya, mens malah jadi nggak jelas, berhenti dateng berhenti dateng, seperti itu terus selama 16 hari. Baru kali ini aku sampai mens 16 hari. Efek sampingnya pun luar biasa. Mood swing luar biasa, bisa biasa aja atau unmood banget banget. Itu nyebelin banget, dan gak nyaman.
Efek samping lain yang aku rasain itu kadang migrain, mual, nyeri payudara, dan badan tuh lemes kayak kurang fit, entah mungkin dari unmood itu. Setelah 28 hari lulus minum obat itu tanpa kelewat, dan tepat waktu, *berkat sang calon yang selalu jadi alarm ngingetin untuk minum obat* *asli ini bikin terharu* ternyata si obat ini cuma ngurangin beberapa milimeter aja. Whaaaaat??! Udah mahal masih ga ngaruh --_--
Sebelum 28 hari itu aku dateng ke dokter lagi, dengan hasil pemeriksaan yang nggak ada perubahan signifikan aku bulet untuk ambil keputusan operasi, aku kira setelah operasi masih bisa diakalin untuk nggak langsung promil karena bingung juga yaa kalau harus nikah seburu-buru ini, tapi si dokter tetep menyarankan kalau operasi itu harus dibarengin sama promil. Bukan nggak mau sih langsung promil, tapi kita baru bisa nikah setelah sang calon cuti kerja. Walaupun memang masih kita usahakan.
Fakta lainnya, ternyata laparoskopi itu nggak dicover asuransi. Kemungkinannya seperti itu. Itu setelah kita tanya ke RS yang disarankan si dokter untuk laparoskopi. Dengan biaya sekitar 45 jutaan. Agak menyesal juga dulu nggak langsung terapi hormon *ya penyesalan itu memang selalu dateng di akhir*. Untuk para endometriosis survivor, saran aku selalu denger apa kata dokter dan jalani apa yang dianjurkan, sebelum berefek hal-hal yang nggak diinginkan seperti ini. Untuk sembuh memang perlu konsistensi.